SELAMAT DATANG

BLOG INI MERUPAKAN PELATIHAN PERENUNGAN DIRI

Jumat, 30 April 2010

NABI DAN RASUL

Seseorang datang padaku dan bertanya mengenai apa bedanya Nabi dan Rasul. Aku menjawab sebagaimana yang kuketahui bahwa rasul memiliki kewajiban untuk menyebarkan ajaran syari’at kepada umatnya, sedangkan nabi tidak. Syari’at nabi hanya untuk dirinya sendiri. Mendengar jawabanku orang ini tersenyum lebar seperti sudah menduga bahwa jawabanku akan seperti itu. Lalu dia berkata, “Aneh sekali. Kita hanya umat nabi saja mendapat kewajiban untuk berdakwah, menyebarkan syari’at kepada orang lain. Bagaimana seorang nabi tidak memiliki kewajiban berdakwah? Enak sekali jadi nabi, menjalankan agama hanya untuk diri sendiri, tidak perlu berdakwah. Beri aku satu penjelasan yang masuk akal.” Aku berkata kepadanya, “Yang kamu ikuti adalah ajaran rasul, sehingga kamu harus menyebarkannya.” Dia berkata, “Tapi dia kan juga seorang nabi.” Aku menjawab, “Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang nabi, tetapi juga seorang rasul. Apa yang telah diajarkan kepada umatnya adalah syari’at seorang rasul. Seperti ketika kita mengatakan bahwa sholat tahajjud hukumnya sunah, maka itu berarti kita sedang mengajarkan syari’at rasul. Lalu dimana syari’at nabinya? Sholat tahajjud bagi Nabi Muhammad SAW hukumnya wajib, itu adalah syari’at nabi bagi dirinya sendiri. Kita hanya mengajarkan dan menyebarkan syari’at seorang rasul bahwa tahajjud hukumnya sunnah, karena syari’at seorang nabi hanya untuk dirinya sendiri bahwa tahajjud bagi Nabi SAW hukumnya wajib.” Keadaan demikian juga sudah terjadi pada masa nabi Khidzir as sewaktu berjalan bersama Musa as. Apa yang dilakukan Khidzir ketika bertemu dengan anak kecil itu adalah syari’atnya sebagai nabi. Dia membunuh anak itu dengan alasan jika dibiarkan sampai dewasa, anak ini akan menyesatkan kedua orang tuanya yang shalih. Bayangkan jika hal ini dianggap sebagai syari’at yang harus disebarkan kepada umat. Apa yang akan terjadi?

AKAR KEKAFIRAN

Aku bisa membayangkan bagaimana kaum Nuh as sulit menerima kenyataan bahwa Nuh as adalah seorang utusan Allah. Demikian halnya nabi Hud di kalangan Ad, Sholih di kalangan Tsamud, Musa di kalangan Mesir, Isa di kalangan Bani Israel dan sebagainya. Kaum-kaum itu menghardik para nabi dan menganggapnya sebagai orang yang mengada-ada, membawa tatanan-tatanan baru yang tidak diajarkan oleh nenek moyang. Mereka menganggap para nabi itu sebagai pendusta. Dusta untuk memperoleh pengakuan sebagai tokoh di kaum tersebut. Manusia sekarang menghardik kaum-kaum tersebut sebagai orang yang tidak rasional, tidak mengerti iman, hanya berpegang pada adat nenek moyang dan tidak mengerti akan kesesatannya. Bayangkan seandainya saja saat ini datang seorang kekasih Allah. Tidak perlu seorang Nabi atau Rasul. Cukup seorang wali. Wali yang hidup di zaman kita, kemudian memberi peringatan pada kita tentang keyakinan-keyakinan kita yang dianggap mulai menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Mampukah kita mengakui bahwa dia adalah kekasih Allah? Ataukah dia harus mati dahulu selama beratus-ratus tahun baru kemudian mendapat pengakuan tentang kewaliannya? Dan pengakuan itu pun bukan dari kita, melainkan dari generasi yang jauh setelah kita.